Artikel

Kebangsaan

Sabtu, 22 Januari 2011

PARARELISASI GERAKAN MAHASISWA ; Upaya Mewujudkan Kader Berkesadaran Emansipatoris Transformatif, Menyongsong perubahan sosial


Wacana tentang gerakan mahasiswa dan harus bagaimana seharusnya mahasiswa sering kali menjadi perdebatan panjang. Forum-forum diskusi di kampus sering menjadi ajang dialektika bagi mahasiswa gerakan untuk menentukan orientasi ke depan, akan tetapi dari beberapa fakta di lapangan gerakan mahasiswa hari ini hanya bergerak secara reaksioner dan aksidental.
Beberapa problematika ke-Bangsa-an sering dibaca secara parsial sehingga aksi turun jalan yang sering dilakukan oleh mahasiswa cenderung hanya untuk menunjukkan eksistensinya masing-masing. Begitu juga dengan problematika yang sering dihadapi oleh gerakan mahasiswa di dunia akademik, seperti yang diungkapkan oleh Baskara T. Wardaya bahwasanya gerakan mahasiswa hari ini yang hanya memiliki kecenderungan di wilayah sosial politik sehingga menafikan tanggung jawabnya sebagai insan akademik (civitas politika bukan cifitas akademia).
Persoalan-persoalan tentang orientasi gerakan mahasiswa hari ini dirasa perlu untuk diperbincangkan kembali. Belajar dari kasus reformasi yang kemudian sedikit memberikan kesadaran terhadap mahasiswa bahwasannya gerakan mahasiswa tidak berhenti pada hal-hal yang sifatnya aksidental (peruntuhan rezim, aksi jalanan dan lain sebagainya), tapi gerakan mahasiswa juga harus mampu memberikan gagasan-gagasan alternatif di berbagai lini kehidupan berbangsa (menembus teks melampaui realitas sehingga mempu memahami metafisik kehidupan).
Dan sudah sepatutnya mahasiswa hari ini harus mengukir sejarah sendiri dan tidak terpatron pada sejarah masa lalu. Karena bagaimanapun juga setiap zaman punya sejarahnya masing-masing dan hari ini kita dituntut untuk mengukir sejarah pada zaman kita sendiri (detik-detik se-abad budi utomo dan 79th sumpah pemuda).




PARARELISASI GERAKAN MAHASISWA
Pararelisasi gerakan mahasiswa mungkin hanyalah sebuah bingkai yang dibuat untuk mematrialkan gagasan-gagasan tentang bagaimana seharusnya mahasiswa hari ini bergerak. Sebuah konsep tentang orientasi jangka panjang gerakan mahasiswa yang diperbincangkan secara panjang lebar di ashram bangsa berhasil merumuskan satu konsep yang diberi nama paralelisasi gerakan mahasiswa.
Pararelisasi yang dimaksudkan hanyalah sebagai metodologi (metode gerak). Metode gerak dan cara gerak bagi gerakan mahasiswa dirasa sangat penting. diakui ataupun tidak beberapa gerakan mahasiswa yang sudah mempunyai landasan berpikir (ideologi) terkadang tidak bisa mematrialkan ideologinya dalam gerakan.
Pararelisasi sebagai sebuah metodologi memang dimaksudkan untuk bisa melakukan maksimalisasi kerja sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas masing-masing mahasiswa. Karena kecenderungan orientasi gerakan mahasiswa pasca reformasi yang lebih condong kepada wilayah sosial-politik dan menafikan beberapa kecenderungan dan kapasitas mahasiswa yang lainnya (crirical force-politikal force& moral force).
Pararelisasi yang mengidealkan untuk menempatkan mahasiswa di pos-pos yang sesuai dengan kecenderungan dan kapasitasnya masing-masing. Akan tetapi juga penempatan wilayah yang sesuai dengan posnya itu juga harus diimbangi dengan satu main stream pola kerjasama yang saling mengisi antar pos yang satu dengan pos lainnya, sehingga bisa berjalan dengan sinergis dan tidak saling menegasikan antara yang satu dengan yang lain-nya (pararelisasi praksis).

KESADARAN EMANSIPATORIS
Kesadaran yang dimaksudkan di sini adalah mencakup beberapa hal yang perlu kita sadari atau  kita alami secara sengaja dan meninggalkan jejak pada ingatan (consciousness) tidak hanya menyangkut beberapa pengalaman yang biasanya terkait pada diri kita seperti berfikir, merasa imajinasi, mimpi dan pengalamanan yang dengan tubuh (awarenwes).
Pembentukan kesadaran sebagai mainstream berfikir ini merupakan substansi dari konsep emansipatoris itu sendiri. Karena bagaimanapun juga banyak manusia yang bergerak di luar alam bawah sadarnya, mengambil bahasanya Karl Marx bahwasanya manusia itu telah teralienasi dari dirinya sendiri. Pembentukan mainstream bersama untuk saling mengerti dan memahami wilayahnya masing-masing memang tidak bisa dilepaskan akan adanya dialektika yang terjadi antara kehendak bebas seorang manusia dengan rasionalitas (komunikasi aktif).
Kehendak bebas (free-will) pasti dimiliki oleh setiap manusia baik itu mencakup wilayahnya sebagai manusia sosial ataupun sebagai pribadi, karena manusia mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan yang dipengaruhi oleh hal-hal yang berada di luarnya, pun jaga sebaliknya.
Akan tetapi jika kehendak bebas bisa berjalan seiring rasionalitas maka akan memberikan kemampuan kepada manusia untuk dapat memahami pendapat-pendapat yang berbeda, rasionalitas yang pengertiannya adalah kemampuan dalam memahami realitas dan dengan rasionalisasi kita dituntut untuk menemukan kebenaran sejati sebagai dasar bagi pikiran manusia, (men-dealektika-kan idealisme dengan realitas).
Dan dengan itu, maka manusia akan semakin terbuka dengan pluralitas dan tetap memahami realitas secara rasional yang kemudian membentuk satu kesadaran emansipatif atau kesadara plural (save belonging of  PMII).

TRANSFORMATIF SEBAGAI LANGKAH STRATEGIS
Sebuah metodologi gerakan tidak akan pernah mempunyai nilai-nilai tertentu kalau tidak ditransformasikan untuk keberlanjutan gerakan selanjutnya, injeksi kesadaran  yang sering dibahasakan oleh sahabat-sahabat menjadi sangat perlu untuk diterapkan sebagai wujud dari tanggung jawab gerakan (perpaduan antara metode & nilai).
Mengambil bahasanya Mansour Faqih, bahwasanya mahasiswa seharusnya benar-benar bisa memainkan peranannya sebagai kaum intelektual organik. Sekelompok manusia yang mampu untuk merumuskan beberapa konsep sebagai solusi dari berbagai macam persoalan, dan kemudian bisa di-manage dan ditransformasikan.
Di sinilah kemudian pentingnya sekelompok manusia untuk merumuskan beberapa konsep sebagai solusi dari berbagai macam persoalan, dan kemudian bisa di manage dan ditransformasikan secara praksis dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. ssssTransformasi sosial yang diidealkan sebagai wujud dalam pembentukan masyarakat sebagai pasar gagasan (induk realitas) yang dalam bahasanya Karl Popper sering disebut masyarakat terbuka (open society). Namun gagasan yang telah didialektikan sebagai proses untuk memunculkan satu sintesa baru dalam gerakan mahasiswa tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya sebuah kesadaran-komitmen yang kuat untuk terus bergerak sebagai wujud dari tanggung jawab gerakan yang kita emban (idealis transformatif).

Written by: Lucas Darwis (The Ashram Bangsa Advisor)

Rabu, 19 Januari 2011

FEMINISME

Oleh: Ahmad Yani[1]
Wawasan Gender
Konstruksi sosiologis-paradigmatis gender dapat di telusuri melalui pemahaman definisi, fenomena gender dan feminisme serta teori-teori yang muncul dari dinamika gender. Melalui wawasan ini dapat ditelusuri proses historis bangunan gender yang mempengaruhi paradigma gender dikalangan pemikir Islam.
Definisi Gender
Kata gender secara etimologis berasal dari bahasa Inggris, gender, yang berarti ”jenis kelamin”.[2]Pengertian etimologis ini lebih menekankan hubungan laki-laki dan perempuan secara anatomis. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Definisi ini lebih menekankan aspek kultural dibandingkan pemaknaan secara anatomis. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Definisi di atas menunjukkan gender sebagai salah satu bentuk interaksi sosial antara laki-laki dan perempuan. Definisi ini memperkuat secra sosiologis dalam Encyclopedia of Sociology, bahwa gender merupakan model hubungan sosial yang terorganisasi antara perempuan dan laki-laki tidak semata-mata hubungan personal atau keluargaan, tapi meliputi institusi sosial yang lebih besar seperti kelas sosial, hubungan hierarkis dalam organisasi dan struktur pekerjaan.[3]
Teori-teori Feminisme
Gender merupakan enomena sosial yang memiliki kategori-kategori analisis yang berbeda-beda. Secara substansial, komitmen dasar kaum feminis adalahj terwujudnya kesetaraan gender dan menolak ketidakadilah terhadap perempuan. Teori-teori feminisme merupakan gambaran dinamika wacana feminisme, ada berbagai macam teori tentang feminisme.
a.    Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
b.    Feminisme radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal".
Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
c.    Feminisme post modern
Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
d.    Feminisme anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.
e.    Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
f.     Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
g.    Feminisme postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”

h.    Feminisme Nordic
Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial negara.[4][4]
Tokoh Dalam Feminisme
1. Foucault
Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Fault adalah bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal tersebut mendukung bagi perkembangan feminism.
2. Naffine (1997:69)
Kita dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power Kuasa bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang dipaksa meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu merupakan efek dari kuasa.
3. Derrida (Derridean)
Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.


Daftar Pustaka
·         John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1983).
·         Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005).


[1] Ahmad Yani, Salah Satu Kader Ashram Bangsa, Yang Hari Ini Menjabat Sebagai Kordinator Pusat FAM-J.
[2] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1983), Hal. 265.
[3] Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), Hal. 20.

Urgensi Pemilwa bagi Mahasiswa


Oleh: Luluk Fadlilah*
Dalam perjalanan kehidupan mahasiswa tidak selamanya harus berkutat dengan akademis, ada kesadaran yang harus di tumbuhkan demi mencapai kemajuan kampus secara utuh, yaitu kesadaran politik dalam mengiring dan membawa kampus ke arah yang lebih baik dan ideal. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan pemilihan mahasisa (Pemilwa).
Pemilwa adalah momentum pesta demokrasi mahasiswa yang harus di ikuti oleh seluruh mahasiswa, Kenapa begitu?. Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus paham dahulu, apa itu pemilwa dan apa manfaatnya dipandang dari aspek pendidikan untuk mahasiswa?.
Mahasiswa adalah bagian terpenting masyarakat yang mempunyai kesadaran pendidikan lebih dibanding yang lain. Ia di cetak untuk menjadi insan yang mampu menjawab dan menberikan solusi terhadap problematika sosial dan bangsa. Kehadirannya dengan kapasitas pengetahuan yang dimiliki diharapkan menjadi angin segar dalam keterpurukan bangsa ini. Sehingga alangkah naifnya, jika ia masih berfikir untuk dirinya sendiri (kafir sosial). Dan pemilwa ini adalah bentuk kepedulian sosial kita terhadap masa depan mahasiswa secara menyeluruh.
Secara normatif, pemilwa adalah ajang proses regenerasi kepengurusan, baik ditingkatan Dewan Mahasiswa, Senat Mahasiswa Universitas, Senat Mahasiswa fakultas, Badan Ekskutif Mahasiswa Fakultas dan Badan Ekskutif Mahasiswa Jurusan. Seluruh organisasi ekstra mahasiswa yang ada di kampus berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mengikuti pemilwa ini. Dari sinilah nilai-nilai demokrasi tertanam di lingkungan kampus.
Secara substansial, pemilwa adalah ajang pembelajaran politik untuk menberikan pengalaman lebih selain dunia akademis. Yang pada tujuannya diharapkan nanti, bekal pengalaman itu dapat dijadikan referensi ketika terjun di masyarakat secara langsung. Diakui atau tidak dalam bangku kuliyah hal ini kita tidak dapatkan. Sehingga sangat merugi jika pemilwa ini tidak direspon dengan baik oleh seluruh mahasiswa.
 Bagi mahasiswa yang acuh tak acuh akan menganggap pemilwa adalah hal yang tak penting untuk diikuti sebab menbuang-buang waktu. Pandangan lain,  mahasiswa yang konserfatif memandang pemilwa adalah hal yang kotor dan keji. Yang lebih parah lagi ada pandangan bahwa pemilwa dilakukan secara tidak tidak adil sehingga haram hukumnya mengikuti pemilwa.
Betapa pendek dan sempit pemikiran mahasiswa yang mempunyai anggapan seperti itu, padahal jelas dari pengalaman pemilwa yang diadakan tiap tahun, khususnya di kampus putih UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta selalu mengedepankan aspek prosedural, administratif dan sesuai dengan undang-undang yang ada. Walaupun masih ada hal-hal yang dirasa kurang baik tapi inilah mahasiswa yang seharusnya bijak dalam bersikap dan belajar dari pengalaman. Secara teori kita sudah dapat di bangku kuliyah dan pemilwa adalah ajang praksis untuk penerapan teori itu.
Apapun anggapannya terhadap pemilwa, jika ditelisik lebih jauh dari aspek pengalaman, pendidikan dan sosial kita akan paham bahwa pemilwa ini sangat penting untuk digalakkan dan disambut dengan terbuka oleh seluruh mahasiswa. Semuga pesta demokrasi (pemilwa) yang sebentar lagi akan di adakan di UIN Sunan Kalijaga akan di respon baik oleh seluruh kalangan. Wassalam!!!
*) Mahasiswi JS, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Kader muda PMII Ashram Bangsa

Max Webber

Maximilian Weber (21 April 1864 – 14 Juni 1920) adalah seorang ahli ekonomi politik dan sosiolog dari Jerman yang dianggap sebagai salah satu pendiri ilmu sosiologi dan administrasi negara modern. Karya utamanya berhubungan dengan rasionalisasi dalam sosiologi agama dan pemerintahan, meski ia sering pula menulis di bidang ekonomi.

Pemikiran Weber

Dalam karyanya yang paling populer adalah esai yang berjudul Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, yang mengawali penelitiannya tentang sosiologi agama, Weber berpendapat bahwa agama adalah salah satu alasan utama bagi perkembangan yang berbeda antara budaya Barat dan Timur. Weber beranggapan bahwa etika protestan menganjurkan para pemeluknya untuk bekerja keras, jika ingin sukses di akhirat maka haruslah sukses di dunia, hal tersebut yang kemudian memunculkan spirit kapitalisme, di mana orang hidup haruslah mencari kesuksesan sebanyak-banyaknya agar tercipta keselamatan di dunia maupun di akhirat.

Dalam karyanya yang terkenal lainnya, Politik sebagai Panggilan, Weber mendefinisikan negara sebagai sebuah lembaga yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, sebuah definisi yang menjadi penting dalam studi tentang ilmu politik Barat modern. Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme”

Weber juga menganggap masyarakat berkembang dari irrasional menuju rasional. Masyarakat yang semakin besar makin sulit untuk saling mengenal antar pribadi. Yang membuat orang saling bekerjasama pada masyarakat tradisional adalah saling percaya. Pada masyarakat besar yang impersonal akan efektif dalam mencapai tujuan dengan membuat pengorganisasian.

Weber membagi masyarakat ke dalam tiga jenis, (1) masyarakat tradisional, (2) masyarakat kharismatik, (3) masyarakat rasional. Dalam masyarakat yang kharismatik terdapat seorang pemimpin yang mempunyai kharisma tinggi, pemimpin kharismatik dapat melonggarkan tradisi dengan kharismanya, ketertiban dapat diganti dengan kedudukan personal. Sumber kekuasaan tradisional dan kharismatik sangat rentan terhadap perubahan sosial, oleh karena itu ada institusionalisasi kharisma agar terjadi penularan nilai-nilai. Birokrasi tradisional sering disebut juga birokrasi patrimonialistik, merupakan perpanjangan tangan pemimpin. Weber memandang birokrasi dengan pandangan yang positif, birokrasi dan birokratisasi itu baik, birokrasi rasional identik dengan masyarakat modern, birokrasi rasional dalam mencapai tujuan menggunakan cara-cara yang efektif dan efisien.

Pandangan Max Weber yang menyatakan bahwa birokrasi merupakan pengorganisasian kegiatan atas prinsip-prinsip yang rasional, yang pada dasarnya birokrasi itu direkonstruksi sesuai azas pembagian kerja yang bersifat organis adaptif, apolitis, netral dan berorientasi pada pelayanan. Max Weber pada tahun 1947, menurutnya birokrasi merupakan tipe ideal bagi semua organisasi formal. Ciri organisasi yang mengikuti sistem birokrasi ini ciri- cirinya adalah pembagian kerja dan spesialisasi, orientasi impersonal, kekuasaan hirarkis, peraturan-peraturan, karir yang panjang, dan efisiensi. Cita-cita utama dari sistem birokrasi adalah mencapai efisiensi kerja yang seoptimal mungkin. Menurut Weber organisasi birokrasi dapat digunakan sebagai pendekatan efektif untuk mengontrol pekerjaan manusia sehingga sampai pada sasarannya.

Berbicara soal birokrasi, konsep yang digagas Max Weber, sosiolog ternama asal Jerman, yang dikenal melalui ideal type (tipe ideal) birokrasi modern. Tipe ideal itu melekat dalam struktur organisasi rasional dengan prinsip “rasionalitas”, yang bercirikan pembagian kerja, pelimpahan wewenang, impersonalitas, kualifikasi teknis, dan efisiensi.

Pada dasarnya, tipe ideal birokrasi yang diusung oleh Weber bertujuan ingin menghasilkan efisiensi dalam pengaturan negara birokrasi merupakan organisasi yang rasional dengan mengedepankan mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian efisiensi digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat.

Oleh: General Secretary of Ashram Bangsa